

Oleh: Ryn W. Dekusato
matayogya.com – Jay datang lagi malam ini dengan bola mata berembun. Ia agak berbeda dari biasanya; berpakaian lebih rapi dan harum. Meskipun wajahnya sedikit tirus dan tak sebersih dulu, namun kuakui ia terlihat lebih dewasa dan maskulin. Kumis dan jambangnya tumbuh lebih lebat–ia mencukurnya begitu rapi. Rambut ikalnya yang legam tumbuh lebih panjang menyentuh bahunya yang bidang. Dan mata itu… mata elang dengan alis tebal, masih menyiratkan rasa yang sama. Cinta dan rindu pun masih menggelora di sana.
“Ini hari jadimu, Mel,” ucapnya lirih, seperti tengah mengingatkan.
Oh, betapa waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, usiaku 32 tahun sekarang. Semestinya, aku sudah bekerja sebagai branch manager di perusahaan ternama di ibukota dan sedang menyelesaikan magister management seperti yang pernah kucita-citakan. Namun, impian itu tinggal cerita yang bahkan tak patut aku kenang.
“Apa kabar, Mel? Maaf, lama sekali aku tak menemuimu.” Jay berucap lagi dengan suara yang tertahan, rendah dan berat. “Bunda masih sakit. Beberapa bulan terakhir sering kambuh. Komplikasinya parah, Mel. Aku harus meluangkan banyak waktu untuk beliau. Percayalah, aku tak bermaksud melupakanmu.”
Aku tersenyum dan memandangi Jay, kagum dengan cinta dan pengorbanannya yang luar biasa untuk bunda–orangtua satu-satunya yang membesarkan Jay. Apa pun akan ia lakukan demi perempuan paruh baya yang teramat mencintainya itu. Aku cemburu. Sungguh! Andai saja mama bisa seperti perempuan itu, tentu aku akan menjadi manusia yang paling bahagia.
“Ini kado untukmu….” Jay menggantung kalimat. Tubuhnya mematung di hadapanku. Genangan bening mengambang di kedua bola matanya manakala getaran hebat melanda bibirnya yang agak mengering. Ia mendekap kado yang istimewa, serangkum mawar jingga yang menebarkan harum lembut menyegarkan.
Jay masih seperti dulu, selalu memberikan mawar pada hari-hari yang dianggapnya istimewa. Mawar yang ia bawa malam ini menyimpan makna yang begitu dalam seolah ingin berucap; aku ingin kau menjadi bagian dalam hidupku. Mawar jingga adalah simbol gelora cinta, rasa kagum dan rasa haus akan cinta kasih. Begitu yang pernah ia tuturkan.
“Aku rindu kamu, Mel. Aku ingin ke bukit itu lagi dan bisa berbagi cerita.” Suara Jay semakin bergetar setengah membisik. “Aku… aku membutuhkanmu.”
Kuhampiri Jay. Jarak kami hanya satu jangkauan tangan. Aroma tubuhnya menebar lembut, mengingatkanku pada suatu ketika di desa wisata Banyuroto, Yogyakarta. Di perkebunan strawberry yang dikelilingi sawah menghijau, untuk pertama kalinya aku berani melingkarkan lengan di pinggangnya. Saat itu, kami berboncengan. Jay mengayuh sepeda di jalan kecil pematang sawah, menerabas gerimis yang tiba-tiba mengusik. Agak ragu, kubenamkan wajah di punggungnya untuk sekadar menghindari terpaan hujan yang kian kerap. Seketika, harum Issey Miyake di tubuh Jay membuatku damai dan seolah lupa suasana sekitar.
“Kamu suka, Mel?” tanyanya saat kami duduk di gubuk tua beratap jerami.
Aku hanya menatapnya, pura-pura tak paham.
“Sudahlah, aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan.” Ia tersenyum ranum lalu mengacak rambut sebahuku yang lembab. Perlahan, tatapannya jatuh di manik mataku. “Matamu bening, Mel. Cantik … aku suka.”
Aku geming. Sungguh tak mampu melukiskan bahagia. Kupandangi hamparan daun padi yang basah oleh sisa gerimis. Ribuan cahaya kecil berkelip di pucuk-pucuknya, laksana butiran berlian yang tertimpa sinar matahari. Angin dingin berembus perlahan, membawa harum bunga padi dan aroma lumpur sawah. Jay menyelimuti punggungku dengan jaketnya. Biar hangat, ujarnya lirih.
Senyap. Hanya ada napas kami dan suara anak katak yang terdengar samar. Matahari yang tertutup halimun tipis beringsut perlahan, menyisakan cahaya remang di sela-sela rumpun bambu di ujung tegalan. Ketika kusandarkan kepala di pundak Jay, aku terempas pada peristiwa paling romantis malam sebelumnya.
“Tutup matamu dengan ini,” pinta Jay malam itu. Ia mengikatkan kain hitam yang kami sewa di sisi utara alun-alun selatan Yogya. “Nah, sekarang kamu harus berjalan di antara dua beringin itu. Ingat, ucapkan keinginanmu sebelum melangkah. Kalau kamu berhasil melintasinya, konon kinginanmu akan terkabul.”
Keinginanku malam itu hanya satu; Jay menyatakan cinta padaku. Dan, entah sugesti atau hanya kebetulan, ketika aku berhasil melintasi celah di antara pohon beringin kembar, Jay berdiri gagah di depanku dengan seikat mawar merah.
“Aku cinta kamu, Mel,” ujarnya dengan senyum segar.
Aku tidak mampu berkata-kata. Dua titik air mata luruh di pipi. Rasa haru dan bahagia menyeruak memenuhi dada. Sungguh, tak dapat kulukiskan meskipun lewat puisi terindah sekalipun. Sukar terlukiskan. Yang aku rasakan, gumpalan awan membawaku melayang ke awang-awang ketika Jay mendekapku hangat.
Jay terlalu romantis. Bahkan sejak pertama kali kami bertemu dua tahun silam di parkiran belakang gedung fakultas; saat hujan menderas dengan tiba-tiba dan aku tengah sibuk mencari kunci mobil yang tak kunjung kutemukan. Aku tidak tahu dari arah mana ia datang. Tanpa kata, ia berdiri memayungiku hingga kutemukan apa yang kucari.
“Terima kasih.” Hanya kalimat itu yang mampu kuucapkan ketika tanpa sengaja mata kami bertumbukan. Aku yakin Jay menangkap gugup di wajahku. Ada gurat senyum di bibirnya yang tercetak sempurna. Aku bergetar. Sayang, aku sedang bergegas. Kutinggalkan Jay di tengah hujan saat ia masih berdiri seteguh batu gunung.
Seminggu berselang, kami bertemu kembali di kantin fakultas. Sekali lagi, Jay hadir tanpa kusadari dari arah mana ia muncul. Jay benar-benar seperti siluman. Ah, bukan. Tepatnya, seperti malaikat yang diturunkan Tuhan. Boleh duduk di sini? Jay bertanya santun. Kulihat sekeliling, masih ada beberapa kursi yang kosong. Tak ingin memberikan kesan tak beretika, kupersilakan ia duduk di seberang meja. Kami tak peduli suasana hingar di sekitar. Kekakuan yang tercipta, kami tingkahi dengan menyesap teh panas ala Negeri Gajah Putih.
Keheningan meraja cukup lama, hingga akhirnya Jay mengulang senyum serupa waktu itu; manis dan membuatku bergetar. Lantas ia menyodorkan tangan yang kukuh seraya berujar, “Aku Jay… Jaya Sancawikrana. Kamu boleh panggil aku Jay. Sederhana dan lebih nyaman didengar, bukan?”
Namanya terdengar agak aneh di telinga, seperti nama raja-raja Nusantara yang diambil dari bahasa Sansekerta. Atau… ia memang titisan salah satu di antara mereka? “Aku Mel… Mel Ara,” ujarku agak kaku.
Matanya menelusuk ke dalam bola mataku. “Beruntung kita bertemu lagi,” ujarnya pendek.
Aku mencoba tersenyum, sekadar menghilangkan gugup yang masih menjerat.
“Maaf, aku pernah meninggalkanmu di parkiran,” kataku tulus. “Waktu itu aku sedang ada masalah dengan Adam, pacarku. Maksudku… mantan pacar. Adam adalah calon suamiku yang dipilih Mama. Tapi… sekarang sudah bubar.”
“Maaf, kalian bermasalah?”
“Setelah aku tahu siapa dia yang sebenarnya, rasa itu hilang. Adam terlalu arogan, terlalu bangga dengan kekayaan orang tua dan ketampanan wajahnya. Dua modal itu yang membuat dia bangga menjadi play boy sejati. Dan, aku senang dia memutuskanku, tanpa harus aku yang melakukannya.”
Aku tak tahu, kekuatan apa yang menarikku untuk bercerita tentang Adam yang menyebalkan. Tak kupungkiri, sudah sejak lama aku ingin bercerita, sejak kurasakan perubahan pada Adam yang semakin kentara; terlalu egois dan hanya ingin dimengerti. Aku bosan! Aku ingin berbagi, tetapi entah dengan siapa. Belum kutemukan orang yang menurutku pas untuk mendengar kisahku. Siapa nyana jika ternyata Jay begitu baik, ia mau menjadi pendengar yang setia.
Sejak saat itu, aku merasa nyaman berbagi cerita dengan Jay. Tanpa terpaksa, ia selalu mendengarkan setiap keluh kesahku. Hingga aku menyadari, Jay dan aku seirama, senada dalam perjalanan kisah cinta yang tak indah. Keyzia, pacar Jay yang sefakultas denganku, meninggalkannya tanpa alasan. Jay jatuh dan kehilangan arah. Kuliahnya yang hanya tinggal satu semester ia tinggalkan begitu saja.
Jay mengakui dirinya rapuh.
Kehilangan membuatnya terluka, begitu parah dan sulit terhapuskan dalam waktu yang singkat. Tetapi aku menilainya lain; ia cowok romantis yang tak bisa dengan mudah melupakan kenangan. Dalam hal ini kami memiliki perbedaan. Meskipun terkadang terlalu posesif, aku bukan orang yang suka berlarut-larut memikirkan kenangan buruk yang melukai hati.
Pada ulang tahunku yang ke-30, Jay mengundang dinner dan memberi kado seikat mawar kuning. Hadiah yang tak biasa. Aku bahkan tak paham maknanya. Tetapi menurut Jay, mawar kuning adalah lambang persahabatan. Warna kuning yang tersimpan di balik keceriaannya adalah simbol persahabatan sejati, kekaguman atas persahabatan, ucapan selamat datang, suatu awal yang baru dari sesuatu dan kenangan indah yang tak terlupakan. Aku bertanya ketika itu, “jadi, kita hanya bersahabat?”
Jay tertawa lirih, menampakkan gigi putihnya yang berderet rapi. Tanpa jawaban, ia kembali menikmati kopi yang tinggal separuh. “Sudah, berhenti memandangku kayak gitu. Makan dulu, keburu dingin.”
Kendatipun Jay tak menjawab pertanyaanku, tetapi aku cukup bungah. Aku bahagia Jay bisa menghabiskan waktunya di hari istimewaku. Terlebih, aku melihat bahagia di matanya. Jay mulai bisa melupakan kesedihan dan menata kembali hidupnya.
Pada hari kasih sayang, Jay membawaku ke sebuah bukit di sebuah desa kecil di batas kota hujan. Di bawah pohon angsana tua di puncak bukit, ia memberiku seikat mawar merah muda. Sangat menggemaskan dan menggoda. Aku tersipu menerimanya.
“Mawar merah muda melambangkan penghargaan, kebahagiaan, kekaguman, kelembutan, kasih sayang dan ucapan terima kasih sebagai sahabat dekat,” tuturnya lugas, membuatku tak mampu berkata-kata. “Kamu sahabat dekatku.”
Di hamparan rumput yang hijau, saat aku memandang Jay, untuk kesekian kalinya aku merasakan getaran aneh menjalari naluriku. Aku suka berada di dekatnya. Ada rasa bahagia menelusup ke relung jiwa. Ada rasa takut jika tiba-tiba ia pergi meninggalkanku. Aku merasakan berjuta bunga bermekaran di taman hati.
“Minggu depan ke Yogya, yok, Mel. Pengin ke luar dari Jakarta untuk beberapa waktu. Kita bisa berkunjung ke desa wisata dan tempat-tempat eksotik lainnya.” Jay memainkan bola matanya yang bulat dan berbinar. “Kita rayakan ulang tahunmu dan setahun kebersamaan kita di sana. Kayaknya seru, kan?”
Aku sangat ingin menyambut ajakan Jay yang tiba-tiba dan tak terencana itu, namun segera kuurungkan saat membayangkan wajah Mama dan Papa. Yakin, mereka tak akan memberiku izin jika mereka tahu aku akan pergi bersama cowok lain, bukan Adam–meskipun Jay hanya seorang sahabat.
“Kamu takut aku berbuat jahat” Pertanyaan Jay telak menghantam ulu hati. “Aku janji, Mel. Akan selalu menjagamu, jiwa dan raga.”
Tentu Jay tak paham isi hatiku saat itu, tetapi aku tak mau membiarkan Jay menunggu jawaban. Aku mengangguk dan tersenyum mewakili kata ‘ya’ yang seakan tak mampu aku lontarkan. Sebelas bulan lebih kami bersama. Meski Jay tak pernah menyatakan cinta, aku yakin ia menyimpan rasa itu untukku. Ia terlalu baik, aku tak pernah meragukan ketulusannya. Atas pertimbangan itu pula, aku pergi tanpa seizin Mama dan Papa. Kebulatan tekadku, merupakan bagian dari awal bencana.
“Aku rindu kamu, Mel. Aku ingin ke bukit itu lagi dan mengulang kenangan indah kita,” ucap Jay beberapa saat kemudian masih dengan suara bergetar. Matanya semakin berkaca-kaca. “Aku… aku membutuhkanmu, Mel.”
Kuhampiri Jay. Jarak kami kurang dari satu jangkauan tangan. Aroma tubuhnya menebar lembut. Tuhan, aku merindukan kebersamaan itu. Andai saja saat itu aku bisa bersikap lebih dewasa, aku yakin Jay dan aku masih bisa bersama, menikmati segala keindahan yang ada. Andai saja ketika itu aku percaya dan mau mendengar penjelasannya, derita berkepanjangan ini tak akan pernah terjadi. Ini salah siapa? Mama? Papa? Atau bahkan aku? Ah, entahlah….
“Apa yang telah kamu lakukan, Mel?!” hardik Mama ketika akhirnya ia tahu aku berlibur bersama Jay. “Kamu sudah mempermalukan Papa dan Mama. Kamu tak bisa menjaga kehormatan keluarga, bahkan kehormatanmu sendiri!”
“Ma, Jay pemuda yang santun. Insya Allah, Mel bisa menjaga kehormatan, Ma. Percayalah.” Aku mencoba memberi pengertian pada Mama. “Dan Mel pernah bilang, Adam dan Mel enggak ada hubungan apa-apa lagi. Kami sudah putus sejak lama, Ma. Dia yang memutuskan Mel demi pacar-pacar barunya….”
“Putus? Kamu bilang putus?!” Mama kalap. Tangannya melayang di pipiku hingga aku terjerembab di sofa. “Kamu enggak usah cari alasan!”
“Mel bukan anak kecil lagi, sudah 23 tahun, Ma. Tolong hargai pendapat Mel juga!”
Aku menantang tatapan Mama. Air mataku luruh juga meski aku sudah berusaha menahannya. “Dulu, Mel menuruti kemauan Papa dan Mama, hanya karena Mel menghargai kalian sebagai orang tua. Mel ingin berbakti, ingin membahagiakan Papa dan Mama. Sungguh! Tapi, ternyata semua ini sangat menyiksa. Mel tahu, Papa dan Mama melakukan ini demi harga diri, sama sekali bukan untuk Mel! Mama, Mel nggak akan bahagia bersama Adam. Enggak akan, Ma!”
“Kamu meninggalkan Adam demi Jaya yang sama sekali enggak punya masa depan! Sadar, Mel. Hidup hanya bermodalkan cinta itu bull shit! Bilang sama Mama, apa yang bisa dia berikan untuk masa depanmu? Ya, Tuhaaan! Bencana apa lagi ini?”
“Cukup, Ma! Jangan pernah menyebut nama Tuhan. Bahkan Mama tak pernah percaya kalau Tuhan itu ada. Mama lebih memilih harta dan harga diri sebagai tuhan!”
“Durhaka kamu, Mel!” hardik Mama. Matanya yang bermaskara tebal berkilat menyeramkan. “Sekarang pergi dari rumah ini sebelum kesabaran Mama habis! Dan… jangan pernah kembali sebelum kamu baikan sama Adam!”
“Mama, jangan lakukan ini sama Mel, please….” Aku bersujud dan memohon di kaki Mama. “Sadar, Mah. Mel anak Mama. Mel sayang sama Papa dan Mama.”
Mama tak pernah sudi mendengar rintihanku dan mau menyadari kekeliruannya. Aku tak tahan lagi. Aku ingin bercerita dan mengadu pada Jay. Ingin kutumpahkan kalutku dia yang memahamiku. Kupacu mobil ke rumahnya.
Tetapi apa yang terjadi? Jay, satu-satunya orang yang kuharapkan bisa mendengar dan meredakan kecamuk di hati, justru tengah berdua bersama Keyzia. sungguh, aku tak pernah menyangka jika mereka masih menjalin hubungan. Lalu, semua perlakuan Jay padaku selama ini, apa artinya?
Aku patah arang. Kecewa teramat dalam! Rasanya tak ada yang pernah berpihak padaku. Bahkan Tuhan pun tak mau mendengar tangisku. Dia tak pernah menghapus kepedihan. Aku ingin pergi meninggalkan Papa dan Mama, meninggalkan Jay dan semua keindahan yang pernah tercipta. Aku benci mereka!
“Kembali, Mel. Kita bisa bicara baik-baik. Keyzia datang hanya untuk minta maaf. Tolong hentikan mobilmu sekarang juga. Aku sayang kamu, Mel!” BBM yang dikirim Jay tak pernah kugubris. Bahkan beberapa panggilan dari nomernya tak pernah kuhiraukan. Aku hanya ingin sendiri. Aku tak mau mendengar siapapun.
Perih dan sesak di dada kian meraja. Kupacu mobilku semakin kencang, melesat ke pinggiran kota hujan. Aku ingin mengadu pada pohon angsana tua di atas bukit dan menumpahkan pedihku di sana. Hujan turun membasahi sepanjang jalan berkelok yang kulalui. Tiba-tiba aku ingat Tuhan dan takut kematian. Aku tak ingin mati! Aku berniat memperlambat laju mobilku saat tak mampu lagi mengontrol keadaan. Di belokan terakhir sebelum tiba di kaki bukit, mendadak muncul truk bermuatan entah apa. Kuinjak pedal rem secara mendadak. Ban mobilku berdecit nyaring lalu oleng dan… gelap seketika. Bau anyir darah meruap, menyergap penciuman. Lalu hening.
“Mel, jangan tinggalkan aku! Jangan biarkan aku sendiri!” Sesaat kemudian kudengar suara Jay histeris. Menyayat. Melolong panjang memecah keheningan. Aku masih merasakan ia merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. “Mel, tolong lihat mataku … lihat mataku, Mel! Aku cinta kamu. Kembali, Meeelll!”
Aku bingung dan panik menatap Jay. Tubuhku bersimbah darah dalam dekapannya. Aku berteriak, tetapi suaraku tak terdengar. Hampa. Kosong. Lalu, ketika cahaya putih menerpa wajahku, segalanya lenyap dalam sekejap.
Kini tepat setahun setelah kejadian itu. Meski aku tak lagi berada di sisi Jay, meski jasadku terkubur di sini, tetapi aku dan Jay masih menyimpan rasa yang sama. Kami masih terjalin dalam satu ikatan cinta yang maha dahsyat. Cinta sejati. Jay tak bisa melupakanku, begitu pun sebaliknya. Mungkinkah ini cinta abadi?
Tuhan, andai saja Kau izinkan aku untuk kembali menjalani hidup, aku hanya ingin bersama Jay hingga akhir dunia. Aku percaya Jay dengan segenap jiwa. Aku berjanji, tak akan mengulang kebodohan, tak ingin meninggalkannya lagi. Sebab, hanya dia yang terindah dalam hidupku.
“Aku rindu kamu, Mel.” Jay bersimpuh di sampingku, di sisi pusara. Air matanya jatuh dan kumaknai sebagai duka. Serangkum mawar jingga ia sandarkan di nisan. “Aku menginginkanmu, Mel. Kamulah yang terindah di hidupku….”
Saat ini, aku ingin memeluknya erat; menikmati degup jantungnya yang berirama menyejukkan, menghirup aroma tubuhnya yang membuatku damai dan menghentikan air matanya yang meluruh. Izinkan aku, ya Tuhan….
